Perang Vietnam bukan hanya konflik lokal. Ini adalah panggung berdarah dari Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, yang memicu penderitaan jutaan jiwa di Asia Tenggara.
Setelah Prancis kalah di Perang Indochina Pertama (1946–1954), Vietnam dibagi dua di Konferensi Jenewa. Di utara, berdiri Republik Demokratik Vietnam yang komunis dipimpin Ho Chi Minh. Di selatan, Republik Vietnam didukung penuh oleh Amerika Serikat.
Sejak akhir 1950-an, Vietnam Utara mulai menyuplai pemberontak Viet Cong di selatan lewat Jalur Ho Chi Minh, yang dibangun melewati Laos. Pada 1963, 40.000 tentara dari Vietnam Utara diam-diam dikirim ke selatan, bersenjata bantuan Soviet dan Cina.
Baca juga: Sejarah Vietnam Umumkan Slogan Wisata Baru yang Picu Perdebatan
Presiden Kennedy menaikkan jumlah penasihat militer dari 900 menjadi 16.000 orang. Namun stabilitas tidak kunjung tercapai. Pada 1963, pemimpin Vietnam Selatan, Ngo Dinh Diem, digulingkan lewat kudeta berdarah yang didukung Amerika.
Insiden Teluk Tonkin tahun 1964 jadi titik balik. Presiden Lyndon B. Johnson diberi kuasa penuh untuk mengirim pasukan tanpa deklarasi perang. Pada 1969, ada lebih dari 500.000 tentara Amerika di Vietnam. Tapi kemenangan tetap tak tercapai.
Serangan besar-besaran oleh Vietnam Utara dalam Tet Offensive 1968 mengguncang publik Amerika. Nixon mulai menarik pasukan lewat strategi “Vietnamisasi”. Namun perang melebar ke Laos dan Kamboja, makin menghancurkan kawasan.
Setelah kesepakatan damai Paris tahun 1973 dilanggar, pertempuran berlanjut hingga Saigon jatuh pada 30 April 1975. Vietnam disatukan di bawah pemerintahan komunis. Lebih dari 3 juta orang tewas. Seperempat juta pengungsi tewas di laut.
Perang ini menyebabkan trauma nasional di Amerika, dikenal sebagai Vietnam Syndrome. Sementara Asia Tenggara porak-poranda. Kamboja mengalami genosida Khmer Merah, dan perang baru meletus antara Vietnam dan Cina pada 1978.