Vietnam Syndrome Luka Amerika yang Membentuk Politik Perang Global

Veteran Vietnam

Setelah Perang Vietnam, Amerika Serikat mengalami trauma mendalam terhadap keterlibatan militer luar negeri. Trauma ini dikenal sebagai Vietnam Syndrome.

Istilah ini muncul karena publik Amerika menjadi sangat enggan menyetujui pengiriman pasukan ke luar negeri setelah perang yang berakhir pada 1973. Banyak yang merasa Amerika tak akan pernah menang perang lagi, apalagi setelah kekalahan dari Vietnam Utara.

Kaum konservatif seperti Ronald Reagan percaya bahwa Amerika bukan kalah karena lemah, tapi karena kehilangan kemauan untuk menang. Mereka menyalahkan tekanan dari dalam negeri, media, dan politisi yang dianggap membuat tentara “tak diizinkan menang”.

Baca juga: Sejarah Jepang dan Prancis Saling Rebut Vietnam, Rakyat Jadi Korban Lagi

Reagan menyebut bahwa propaganda Vietnam Utara berhasil membalik opini publik AS. Ia menilai banyak politisi dan jurnalis Amerika termakan narasi bahwa AS adalah agresor—padahal menurutnya, AS sedang membantu negara kecil melawan tirani komunis.

Untuk menghapus Vietnam Syndrome, Reagan meluncurkan invasi ke Grenada tahun 1983. Operasi ini dilakukan diam-diam tanpa persetujuan Kongres. Bagi Reagan, ini adalah pernyataan bahwa Amerika harus kembali tegas dan tidak takut lagi menggunakan kekuatan militer.

Reagan menyebut Vietnam sebagai “perjuangan mulia”, bukan aib. Ia menegaskan bahwa 50.000 tentara Amerika yang tewas tidak gugur sia-sia. Justru yang salah adalah pemerintah yang takut bertindak tegas dan membiarkan perang dimenangkan oleh propaganda.

Reagan mengubah arah politik luar negeri AS lebih agresif, lebih percaya diri, dan siap bertindak tanpa ragu. Vietnam Syndrome dianggap sebagai simbol kemunduran moral dan ketakutan nasional yang harus diakhiri dengan tindakan nyata, bukan rasa bersalah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *